Hadir, Peduli, Memberi Arti: Potret Dakwah Mahasiswa di TPQ Raudhotul Qur'an IIQ Jakarta

 


Di antara tumpukan tugas kuliah, hafalan yang padat, dan dinamika kehidupan mahasiswa, terdapat sekelompok individu yang memilih untuk hadir dalam ruang-ruang sederhana pengabdian. Mereka bukan hanya mahasiswa, bukan pula sekadar pengajar. Mereka adalah penjaga lentera, para guru TPQ Raudhatul Qur’an IIQ Jakarta, yang menjadikan dakwah sebagai bentuk kepedulian paling nyata.

Mufidatun Nisa, Ketua TPQ Raudhatul Qur’an IIQ Jakarta 2025/2026, menegaskan bahwa keterlibatannya bukan semata rutinitas organisasi. “Saya ingin TPQ ini tumbuh jadi tempat yang mendidik, nyaman dan terarah. Baik sistem, suasana, maupun programnya,” ungkapnya. Dengan bergabung secara struktural, ia berharap bisa menyusun arah, memperbaiki manajemen, dan menciptakan ruang kolaboratif bagi guru dan santri untuk berkembang bersama.

Menurutnya, pengabdian di TPQ sangat memerlukan manajemen waktu dan komunikasi yang efektif. “Saya biasa bikin jadwal mingguan, menyusun prioritas, dan membagi tugas dengan tim. Kuliah dan mengajar itu sama-sama amanah yang luar biasa. Kadang capek banget, tapi saya selalu ingat: ini bukan beban, tapi bekal. Justru keduanya saling menguatkan.”

Tantangan terbesar, lanjut Fida, bukan sekadar administratif atau teknis, melainkan menjaga semangat tetap hidup di tengah rutinitas yang melelahkan. “Kuncinya adalah saling support dan saling tiupkan semangat kalau ada yang mulai redup. Kami bangun suasana kekeluargaan, beri apresiasi, dan sesekali adakan kegiatan bareng seperti sharing, fun gathering, atau sekadar mengobrol santai. Dan satu lagi: selalu ingat dengan niat awal.”

Hal senada disampaikan oleh Ezraluna, Wakil Ketua TPQ Raudhatul Qur’an IIQ Jakarta . Ia menuturkan bahwa kesulitan terbesar dalam proses mengajar bukan hanya soal metode, tapi pada kebutuhan akan empati dalam menghadapi karakter anak-anak yang sangat beragam. “Ada yang cepat paham, ada yang perlu pendekatan khusus. Kadang kita harus lebih dulu hadir sebagai pendengar.”

Ezraluna mengakui bahwa beban akademik pernah membuatnya ingin menyerah. “Tugas kuliah menumpuk, hafalan terasa berat, dan tenaga benar-benar terkuras. Tapi saat melihat anak-anak tetap datang, tetap berjuang meski dalam keterbatasan, saya malu kalau mau menyerah. Doa orang tua dan teman-teman juga yang jadi penguat.”

Sirrotul Ilmi Matdoan, sekretaris TPQ, menyoroti urgensi peran guru mengaji di era digital. “Anak-anak sekarang mudah terdistraksi oleh HP dan media digital. Maka, guru ngaji dan orang tua harus hadir sebagai pendamping aktif. Mengaji bukan sekadar melafalkan ayat, tapi membentuk karakter dan menjadi bekal spiritual anak-anak.”

Pengalamannya yang sudah lama mengajar di TPQ milik orang tua menjadikan ia peka terhadap proses pembentukan karakter anak. “Di TPQ IIQ Jakarta, saya belajar soal kekeluargaan, kepemimpinan, dan dinamika sosial. Kami juga sering mengadakan kajian bulanan tentang parenting dan pendidikan anak, yang sangat bermanfaat dalam memahami pendekatan yang tepat untuk santri dan keluarganya.”

Salah satu momen yang paling membekas bagi Fida adalah saat menyaksikan transformasi santri secara langsung. “Yang dulu belum bisa huruf hijaiyah, sekarang sudah lancar baca Al-Qur’an. Haru banget rasanya. Aku selalu bangga dengan perjuangan adik-adik, terutama saat ujian EBTAQ. Mereka luar biasa. Dan aku bersyukur, Allah izinkan aku untuk menjadi bagian dari proses dan tumbuh bersama mereka.”

Ia menambahkan bahwa guru-guru di TPQ adalah bagian penting dari perjalanan ini. “Mereka berdedikasi tinggi meski sama-sama sibuk kuliah, tahfidz, dan amanah lainnya. Loyalitas dan kekompakan mereka luar biasa. Bangga banget punya tim seperti mereka. Love you, guys!”

Ketiga narasumber sepakat bahwa pengabdian adalah ruang belajar yang tak bisa digantikan. “Jangan tunggu waktu sempurna untuk mengabdi. Justru dengan terjun, kita belajar hal-hal yang tak kita temui di kampus,” pesan Ezraluna.

Fida menambahkan, “Dakwah itu bukan soal tampil, tapi soal hadir, peduli, dan memberi arti. Mulailah dari hal kecil, dari lingkungan terdekat. Ilmu itu akan lebih terasa nilainya saat kita bagi dan amalkan.”

TPQ Raudhatul Qur’an IIQ Jakarta bukan sekadar tempat belajar mengaji. Ia adalah rumah tumbuh, tempat para guru muda menyalakan cahaya dari titik-titik kecil yang sering luput dipandang. Di sana, mereka tidak hanya mengajarkan huruf demi huruf, tapi juga menanamkan harapan, menumbuhkan akhlak, dan menyertai proses panjang adik-adik menjadi insan Qur’ani. Kehadiran mereka untuk memenuhi panggilan jiwa, panggilan untuk peduli, berbagi, dan berarti. Sebab sejatinya, menjadi guru bukan tentang siapa yang paling pandai, tetapi tentang siapa yang paling ikhlas untuk menemani. Mereka hadir dengan cinta, bertahan dengan sabar, dan bergerak dengan keyakinan bahwa setiap peluh yang jatuh adalah bagian dari ladang amal yang kelak bermekaran di akhirat.

Penulis : Ayfia Amireyl Fitrothy

Proofreader :Adilah Hidayati 


Comments

Popular posts from this blog

Perjalanan Tanpa Akhir: Kisah Nafisatul Millah

Berjuang di Tengah Deru Mesin: Kisah Febra, Mahasiswi Ojol yang Tak Menyerah pada Keadaan

Sayaka: Perjalanan Hati dari Negeri Sakura ke IIQ Jakarta