Bijak Bermedia Sosial: Refleksi di Hari Media Sosial Indonesia


Di era ketika segalanya bisa diunggah, dibagikan, dan viral dalam hitungan detik, peringatan Hari Media Sosial Indonesia pada 10 Juni menjadi momentum refleksi bagi generasi muda, khususnya Gen Z di lingkungan kampus, untuk kembali bertanya: apakah kita sudah benar-benar bijak dalam bermedia sosial?

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa masa kini. Tak hanya sebagai sarana berbagi momen, platform seperti Instagram, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter) juga berfungsi sebagai ladang eksistensi, ruang aktualisasi diri, bahkan tempat mencari penghasilan.

Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite Digital 2024, rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 45 menit per hari untuk mengakses media sosial. Khusus generasi muda, terutama Gen Z, waktu penggunaan bisa lebih tinggi, dengan rata-rata melebihi 4 jam sehari. Data ini menunjukkan dominasi media sosial dalam keseharian mahasiswa sebagai sarana interaksi dan informasi.

Eka Amalia Safitri (19), mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) semester 4 di IIQ Jakarta, membagikan pandangannya mengenai manfaat sekaligus tantangan dalam bermedia sosial.

“Dengan bermedia sosial, saya bisa membangun jaringan dengan orang-orang kompeten, mengekspresikan minat, dan mengembangkan potensi diri. Saya manfaatkan platform untuk menyalurkan minat public speaking, akting, dan menulis melalui konten-konten inspiratif,” ujarnya.

Namun, Eka juga menyadari tekanan yang kerap muncul.

“Capek itu pasti ada, terutama saat harus mengejar konten baru. Ditambah lagi, isu-isu yang beredar di media sosial kadang bikin was-was soal masa depan dan memengaruhi mental,” tambahnya.

Hal tersebut turut diamini oleh Upi Zahra, dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) di IIQ Jakarta. Menurutnya, perilaku mahasiswa dalam bermedia sosial seperti dua sisi koin: penuh potensi positif sekaligus tantangan nyata.

“Mereka menunjukkan kreativitas yang tinggi, cepat beradaptasi, dan memanfaatkan media sosial untuk belajar, berdiskusi, bahkan berinovasi bisnis. Tapi saya juga khawatir karena banyak yang terjebak dalam perbandingan hidup, kelelahan mental, dan tekanan untuk selalu tampil sempurna,” jelasnya.

Ia juga menyoroti tantangan etika, tekanan FOMO, dan gangguan akademik akibat media sosial yang digunakan tanpa batas.

“Mahasiswa sering merasa harus tampil sempurna atau takut tertinggal. Ini bisa berdampak pada kesehatan mental dan produktivitas. Saya berharap mahasiswa bisa tetap memegang etika, memilah informasi, dan menjaga kesehatan mental—tidak menilai diri dari jumlah like atau pengikut,” tegasnya.

Kondisi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kominfo) yang kini telah berubah menjadi Kementrian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) pada tahun 2023, menemukan bahwa 62% remaja dan mahasiswa di Indonesia pernah mengalami tekanan psikologis akibat ekspektasi sosial di media sosial, termasuk rasa cemas dan takut ketinggalan informasi (fear of missing out/FOMO).

Tekanan untuk selalu aktif, kreatif, dan relevan menimbulkan tantangan tersendiri. Algoritma platform digital yang terus berubah menuntut kehadiran konsisten, sehingga batas antara kenyataan dan pencitraan seringkali kabur.

Hari Media Sosial Indonesia bukan sekadar seremoni tahunan. Ini adalah ajakan terbuka bagi generasi muda untuk lebih sadar, cerdas, dan manusiawi saat berselancar di dunia maya—karena setiap jejak digital dapat berdampak jangka panjang, baik pada reputasi maupun kesehatan mental.

Sebagai langkah bijak, para mahasiswa dianjurkan untuk:

  • Mengatur waktu penggunaan media sosial dengan bijaksana, misalnya melalui fitur pengingat waktu penggunaan.
  • Memfilter informasi yang diterima dan dibagikan, memastikan sumbernya valid.
  • Memprioritaskan konten yang positif dan membangun.
  • Menjaga kesehatan mental dengan melakukan aktivitas offline yang menyeimbangkan kehidupan digital.

Dengan refleksi yang terus dilakukan, Hari Media Sosial Indonesia dapat menjadi momentum perubahan positif dalam membentuk generasi muda yang tidak hanya melek digital, tetapi juga bijak bermedia sosial.

Penulis: Sufa Alwafiah Jamyza

Proofreader: Aisya Humaira

Comments

Popular posts from this blog

Perjalanan Tanpa Akhir: Kisah Nafisatul Millah

Berjuang di Tengah Deru Mesin: Kisah Febra, Mahasiswi Ojol yang Tak Menyerah pada Keadaan

Sayaka: Perjalanan Hati dari Negeri Sakura ke IIQ Jakarta