Zalva Syamlan: Dari Sekolah Umum ke Juara Nasional MTQ

 

Tak ada yang menyangka, dari sekolah umum biasa, seorang mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) bernama Zalva Syamlan mampu berdiri gagah di panggung MTQ Nasional. Di balik setiap prestasi, ada jalan sunyi yang jarang disorot. Bukan latar belakang pesantren, bukan pula fasilitas luar biasa—melainkan niat yang teguh dan cinta yang tulus pada Al-Qur’an. Pada tahun 2024, ia berhasil menembus panggung nasional sebagai Juara 1 MTQ cabang Qira’at Murattal.

Perjalanan Zalva di dunia MTQ dimulai dari cabang Tartil Anak-Anak. “Awalnya saya hanya ikut tartil anak-anak, lalu berlanjut ke tilawah anak-anak. Setelah usia saya tidak memungkinkan lagi ikut kategori anak-anak, saya coba Qira’at Mujawwad Remaja,” ujarnya. Karena persaingan di cabang Qira’at Mujawwad Remaja sangat ketat, Zalva sempat mempertimbangkan untuk pindah ke cabang Tilawah Remaja. Namun, ia mengurungkan niat itu setelah tahu bahwa pesaing terberatnya adalah kakaknya sendiri. Ia pun akhirnya memilih Qira’at Murattal Remaja—yang justru menjadi awal dari pencapaian gemilangnya

Zalva mulai mendalami ilmu Qira’at sejak usia 14 tahun. Ketertarikannya bermula ketika sang guru menyarankan agar ia mempelajari cabang ilmu ini lebih dalam. Awalnya, ia hanya mengikuti saran tersebut, tetapi seiring waktu, ia semakin terpikat. Ilmu Qira’at memang merupakan cabang yang jarang diminati; hanya segelintir orang yang benar-benar mendalaminya. Meski demikian, bagi Zalva, Qira’at memiliki daya tarik tersendiri: ilmu yang unik karena mempelajari berbagai ragam bacaan Al-Qur’an yang berbeda dari bacaan umum.

Perjalanan Zalva dalam mendalami Qira’at diawali dengan mempelajari hal-hal dasar, seperti mengenal maqra-maqra MTQ dan menghafal kaidah-kaidah bacaan sesuai imam yang akan diperlombakan. Ia dibimbing langsung oleh guru pertamanya dalam bidang Qira’at, yang juga merupakan salah satu dewan hakim di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Saat masih duduk di bangku SMP dan SMA, Zalva terbiasa memanfaatkan hari libur sekolah untuk berlatih. Bahkan, di luar kebiasaan remaja pada umumnya, ia kerap berlatih selepas salat Subuh. Hal ini dilakukan karena mengikuti pesan gurunya: suara akan menjadi lebih ringan dan mudah dibentuk jika dibiasakan latihan Subuh. Tantangan lain yang cukup berat saat itu adalah soal waktu dan jarak. Lokasi latihannya berada di kecamatan berbeda, dengan jarak tempuh sekitar tiga jam dari rumah. Situasi ini tidaklah mudah, terutama saat harus berbagi waktu dengan kewajiban akademik. Namun, Zalva tetap berusaha mengatur waktunya sebaik mungkin, bahkan rela menempuh perjalanan panjang demi memperoleh bimbingan maksimal.

Memasuki dunia perkuliahan, Zalva mulai mengikuti pelatihan secara daring melalui berbagai training center (pusat pelatihan). Menjelang perlombaan, ia bahkan mengajukan izin kuliah agar bisa fokus sepenuhnya pada proses latihan.

Metode belajarnya mengalami perubahan signifikan saat menempuh pendidikan di IIQ. Jika saat pelatihan MTQ Zalva hanya mempelajari tiga Imam Qira’at—Nafi’, Ibnu Katsir, dan Abu ‘Amr—secara terbatas, maka di IIQ ia memperoleh pemahaman yang jauh lebih luas dan mendalam. Pembelajaran di kampus mencakup tujuh imam Qira’at, cara menjama’, mentahlil, dan aspek lainnya yang tidak ia dapatkan saat pelatihan MTQ. Wawasannya pun berkembang secara komprehensif dan terstruktur.

Tentu saja, perjalanannya tidak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesarnya adalah kenyataan bahwa ia bukan lulusan pesantren—lingkungan yang biasanya menjadi tempat para peserta MTQ memperoleh fondasi ilmu Al-Qur’an sejak dini. Ia harus memulai dari nol, belajar secara perlahan dan mandiri untuk mengejar ketertinggalan dibanding peserta lain.

Selain itu, perbedaan antara bacaan Qira’at dan bacaan Al-Qur’an sehari-hari menjadi tantangan tersendiri. Ia perlu menyesuaikan diri dengan ragam bacaan yang belum familiar, menghafal kaidah-kaidah baru, serta memahami karakteristik masing-masing imam. Proses ini tidak mudah, tetapi Zalva tidak pernah menyerah. Ia terus melangkah dengan penuh keyakinan, seraya memohon kemudahan kepada Allah di setiap tahap usahanya.

Di balik semua perjuangan itu, Zalva tidak melangkah sendirian. Ia dikelilingi orang-orang yang senantiasa menjadi sumber kekuatan dan dukungan. Keluarga merupakan bagian terpenting dari perjalanannya—terutama sang mama, kakak, abi, nenek, dan seluruh anggota keluarga lainnya yang tak henti memberi doa dan semangat. Tak terlupakan Ibu Hj. Milwaty, guru pertama yang mengenalkannya pada huruf-huruf hijaiyah. Tanpa bimbingan beliau, mungkin Zalva tak akan pernah mengenal dasar-dasar Al-Qur’an yang kini menjadi jalan hidupnya. Ia juga sangat menghargai peran para guru lainnya yang tak dapat disebutkan satu per satu, serta seluruh LPTQ dari tingkat desa hingga provinsi yang telah menjadi bagian penting dalam proses belajarnya. Teman-teman yang selalu mendukung dan menemani di setiap langkah perjuangan juga menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita keberhasilannya.

Dari sekian banyak pengalaman, terdapat dua momen paling berkesan dalam hidup Zalva. Pertama, saat ia berhasil menembus panggung nasional untuk pertama kalinya dan meraih Juara Harapan III pada cabang Qira’at Murattal Remaja. Meski belum berada di puncak podium, pencapaian ini menjadi titik balik penting. Dari sanalah tumbuh rasa percaya diri dan semangat untuk terus belajar. Bagi Zalva, pengalaman tersebut adalah awal dari perubahan besar—bukti bahwa setiap usaha sungguh-sungguh, sekecil apa pun hasilnya, adalah bagian dari jalan menuju keberhasilan sejati.

Puncak perjalanannya datang pada tahun 2024, ketika ia meraih Juara I MTQ Nasional di Kalimantan Timur. Gelar ini merupakan buah dari perjuangan panjang dan pengorbanan besar. Selama hampir sepuluh bulan, ia harus bolak-balik antara Jakarta dan Kalimantan Timur untuk mengikuti training center intensif tanpa jeda. Proses ini menuntut kekuatan fisik dan mental yang luar biasa—Zalva bahkan sempat mengalami mimisan berulang akibat kelelahan, serta sempat terserang radang. Namun, dengan izin Allah, menjelang hari perlombaan, kesehatannya pulih dan ia mampu tampil maksimal hingga akhirnya berdiri sebagai juara. Pencapaian ini menjadi bukti bahwa kerja keras, kesabaran, dan tawakal kepada Allah tidak pernah sia-sia.

Bagi Zalva, mendalami ilmu Qira’at bukan sekadar ajang perlombaan, melainkan bentuk pengabdian kepada Al-Qur’an. Ia berharap bisa mengambil keberkahan dari Al-Qur’an, membahagiakan orang tua dan guru-gurunya, serta memperdalam ilmu yang tidak ia peroleh di sekolah umum. Motivasi terbesarnya datang dari salah satu gurunya yang pernah berkata, “Hidup bersama Al-Qur’an akan terjamin dunia dan akhirat, serta dijauhkan dari segala kesulitan.” Pesan itu tertanam kuat dalam hatinya dan menjadi pengingat dalam menghadapi setiap tantangan.

Bagi siapa pun yang ingin menekuni bidang Qira’at, ada hal-hal mendasar yang tak boleh diabaikan. Zalva menekankan pentingnya memiliki pondasi yang kuat sebelum melangkah lebih jauh—dimulai dari tajwid yang benar, kefasihan (fashohah) dalam melafalkan huruf, hingga penguasaan irama murattal yang baik. Menurutnya, penguasaan terhadap hal-hal tersebut akan sangat memudahkan dalam mempelajari variasi bacaan Qira’at, karena seseorang tidak lagi terbebani oleh aspek teknis dasar.

Zalva juga mengingatkan bahwa kesabaran dan semangat adalah kunci utama. Proses memahami dan menguasai Qira’at bukanlah sesuatu yang instan. Diperlukan waktu, ketekunan, dan kesiapan untuk terus belajar, meski terkadang terasa berat. Namun, ia yakin siapa pun yang bersungguh-sungguh dalam mendalami Al-Qur’an tidak akan dibiarkan berjuang sendirian. Zalva berpegang teguh pada keyakinan bahwa Allah senantiasa bersama hamba-hamba-Nya yang berikhtiar di jalan-Nya—terlebih mereka yang mengabdikan diri untuk ilmu Al-Qur’an.

Penulis: Aisyah Humairah

Proofreader: Sufa Alwafiah Jamyza


Comments

Popular posts from this blog

Perjalanan Tanpa Akhir: Kisah Nafisatul Millah

Berjuang di Tengah Deru Mesin: Kisah Febra, Mahasiswi Ojol yang Tak Menyerah pada Keadaan

Sayaka: Perjalanan Hati dari Negeri Sakura ke IIQ Jakarta