Anak Nakal Masuk Barak: Kebijakan Dedi Mulyadi Tuai Pro-Kontra

 

Source image: Salira TV

Program pendidikan karakter berbasis barak militer yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Kebijakan yang resmi diluncurkan pada awal Mei 2025 ini bertujuan membina anak-anak yang dianggap bermasalah melalui pendekatan disiplin ala militer.

KDM menegaskan bahwa seluruh siswa yang mengikuti program pembinaan di barak militer telah mendapatkan izin dan persetujuan dari orang tua masing-masing. Bahkan, menurutnya, para orang tua turut mengantarkan langsung anak-anak mereka ke lokasi pembinaan sebagai bentuk dukungan, kerelaan, dan legitimasi atas partisipasi dalam program tersebut. Dengan restu tersebut, Ia optimistis program yang ditujukan bagi anak-anak dengan masalah perilaku ini dapat membentuk karakter yang lebih disiplin dan bertanggung jawab.

Dedi Mulyadi menyatakan bahwa pelaksanaan program pembinaan di barak militer lebih baik daripada membiarkan perilaku bermasalah tanpa penanganan. “Saya sangat yakin 100 persen ini berhasil. Dan kita kan lebih baik punya keyakinan dan melaksanakan daripada melakukan pembiaran,” ujarnya, Kamis (8/5/2025).

Para pendukung program ini menilai, pendekatan militer mampu membentuk karakter anak-anak yang sebelumnya sulit diatur. Program ini dinilai dapat menanamkan kebiasaan yang stabil dan terarah, sehingga siswa terbiasa menjalani aktivitas harian yang konstruktif.

“Anak-anak jadi punya rutinitas yang jelas setiap harinya. Jadi aktivitasnya sudah teratur sesuai dengan kebutuhan anak,” jelas Farraas Afiefah Muhdiar (Psikolog anak, remaja, dan keluarga) kepada Kompas, Kamis (1/5/2025).

Selain itu, banyak orang tua secara sukarela menitipkan anak mereka ke barak militer karena merasa kesulitan dalam mendidik di rumah. Mereka berharap pendekatan ini dapat memberikan dampak positif bagi masa depan anak-anak mereka.

Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga menuai penolakan. Sejumlah pihak mempertanyakan efektivitas serta dampak psikologis dari program tersebut. Salah satunya anggota DPR Verrel Bramasta, yang menilai bahwa pendekatan militeristik tidak cukup untuk menyelesaikan akar permasalahan kenakalan remaja.

Dikutip dari Radarmalang.jawapos.com, Verrel Bramasta menilai bahwa pembinaan anak-anak tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan militeristik. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor psikologis, tekanan sosial, serta dinamika keluarga dalam menangani perilaku remaja.

Sementara itu, pemerhati pendidikan dan anak, Retno Listyarti, juga menilai bahwa program ini tidak tepat untuk diterapkan. Menurutnya, dalam peraturan perundang-undangan terkait pendidikan anak, tidak terdapat dasar hukum yang mengatur pengiriman anak-anak bermasalah ke barak militer.

"Apakah anak akan berubah setelah keluar dari barak militer jika pola asuh dan lingkungannya tidak ikut berubah? Anak akan kembali seperti semula. Jadi ini hanya bersifat sesaat," ujar Retno saat dimintai tanggapannya oleh INews.com.

Retno juga meragukan efektivitas program tersebut dalam menjamin perubahan perilaku anak setelah keluar dari barak militer. Menurutnya, jika hanya anak yang diubah sementara pola asuh dan lingkungan sekitarnya tetap sama, maka besar kemungkinan perilaku bermasalah akan kembali terulang.

Penolakan terhadap program ini juga datang dari orang tua siswa. Salah satunya adalah Adhel Setiawan, wali murid asal Babelan, Kabupaten Bekasi, yang melaporkan Dedi Mulyadi ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Kamis (8/5/2025). Laporan tersebut merupakan bentuk protes atas pelaksanaan program pembinaan militer bagi anak-anak.

Dikutip dari Tribunnews.com, Adhel Setiawan menilai bahwa tindakan Dedi Mulyadi mengirim pelajar yang tergolong bermasalah ke barak militer demi membentuk karakter merupakan bentuk dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Menurutnya, penanganan masalah perilaku siswa seharusnya menjadi tanggung jawab guru, orang tua, dan pemerintah.

"Saya melihat kebijakan ini adalah bentuk keputusasaan. Orang tua yang menyerahkan anaknya ke militer sebenarnya sudah tidak sanggup lagi menangani, dalam tanda kutip, kenakalan anak-anaknya. Akhirnya, ya sudah, diserahkan ke militer," ujar Adhel di kediamannya di Kelurahan Bahagia, Kecamatan Babelan, Senin (12/5/2025).

Ia juga menilai bahwa program tersebut melanggar hak anak. "Anak itu punya kemauan, harkat, martabat, karsa, dan bakat yang diberikan oleh Tuhan. Menjadikan mereka sebagai objek dalam kebijakan ini sangat tidak tepat," lanjutnya.

Adhel menekankan bahwa tidak ada jaminan anak akan mengalami perubahan positif setelah menjalani pelatihan di barak militer. Ia juga mengkritik kurangnya transparansi dalam program tersebut, terutama terkait metode pendidikan yang digunakan selama pembinaan.

Penulis: Aisya Humaira 

Proofreader: Ayfia Amireyl Fitrothy










Comments

Popular posts from this blog

Perjalanan Tanpa Akhir: Kisah Nafisatul Millah

Berjuang di Tengah Deru Mesin: Kisah Febra, Mahasiswi Ojol yang Tak Menyerah pada Keadaan

Sayaka: Perjalanan Hati dari Negeri Sakura ke IIQ Jakarta