Tertawa di Atas Derita: Ironi Panggung Sirkus Indonesia

Sumber: Kompas.com

Bogor, Jawa Barat (22/4/2025) — Di balik dentuman musik, lampu sorot gemerlap, dan tawa penonton yang mengalir tanpa henti, terdapat dunia sunyi yang jarang dilihat. Dunia tempat tubuh dipaksa lentur, suara dipaksa diam, dan kerja diperas hingga batas paling manusiawi. Sirkus, yang bagi penonton adalah pesta visual dan hiburan keluarga, bagi sebagian pemainnya justru menjadi panggung penderitaan yang tak pernah sempat ditutup tirainya.

“Semua tawa yang kau lihat di panggung, belum tentu datang dari hati.” Kalimat ini barangkali menjadi gambaran paling tepat untuk memahami ironi yang menyelimuti dunia sirkus di Indonesia hari ini.

Enam mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) akhirnya memecah kebisuan itu. Mereka membawa cerita tentang kekerasan, eksploitasi, dan ketidakadilan yang dialami selama tampil dalam pertunjukan sirkus, termasuk di kawasan hiburan ternama: Taman Safari Indonesia (TSI). Namun lebih dari sekadar pengakuan, ini adalah seruan untuk membuka mata kita: bahwa panggung hiburan bisa saja dibangun di atas jeritan yang dibungkam.

Mereka menempuh jalur hukum, menuntut ganti rugi sebesar Rp 3,1 miliar. Tapi apakah uang bisa menggantikan trauma bertahun-tahun? Dan yang lebih penting, ke mana selama ini perhatian publik, pemerintah, dan manajemen besar saat dugaan pelanggaran ini terjadi?

Taman Safari Indonesia langsung menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kontrak langsung dengan para pemain sirkus tersebut. OCI hanyalah pihak ketiga, kata mereka. Tetapi benarkah dengan menyewa pihak ketiga, TSI bisa lepas tangan begitu saja dari dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di bawah payung acara mereka?

Inilah celah akuntabilitas moral yang berbahaya. Jika penyelenggara acara besar hanya bertindak sebagai "penyedia tempat", maka siapa yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka yang tampil? Publik tentu tidak datang untuk menonton lembaga hukum. Mereka datang ke TSI, sebuah institusi yang selama ini dikenal edukatif, konservatif, dan beretika terhadap satwa. Apakah etika itu tidak berlaku juga terhadap manusia?

Kesaksian para mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) bukan sekadar cerita kelam, ia adalah cermin retak dari dunia hiburan yang sering kali kita pandang dengan kagum, tanpa bertanya siapa yang dikorbankan demi pertunjukan itu. Disetrum, dikurung bersama satwa liar, dilatih dengan ancaman fisik, hingga dicegah keluar dari area pertunjukan tanpa izin. Hal ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan bentuk perbudakan modern yang mengenakan kostum lebih sopan dan senyum yang dipaksakan.

Selama ini, kita begitu lantang membela hewan-hewan sirkus yang kehilangan naluri alamiahnya demi hiburan. Tapi ironisnya, kita abai pada manusia yang diperlakukan tak kalah kejam: tubuhnya dimanipulasi, haknya dibatasi, dan suaranya diredam. Semua demi menciptakan kesempurnaan visual di atas panggung. Siapa yang memberi mereka tempat bicara?

Dunia sirkus, dan secara lebih luas industri pertunjukan, masih berdiri di atas wilayah kerja yang nyaris tak tersentuh hukum. Tidak ada pengawasan reguler dari dinas tenaga kerja. Tidak ada mekanisme aduan yang aman. Maka, ketika kekerasan terjadi, para pekerja ini hanya dihadapkan pada dua pilihan: bertahan dalam diam, atau pergi tanpa suara.

Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana relasi kuasa bekerja. Taman Safari adalah institusi besar, penuh sumber daya hukum dan media. Sementara para korban? Pekerja informal, dengan rekam jejak trauma, yang sebagian bahkan tidak memiliki kontrak formal. Di sinilah pentingnya peran publik dan media: menghadirkan kembali suara-suara yang selama ini dibungkam oleh struktur dan nama besar.

Publik harus mulai mempertanyakan: berapa banyak pertunjukan hiburan yang berdiri di atas ketimpangan relasi kerja seperti ini? Berapa banyak senyum panggung yang lahir dari tekanan dan rasa takut?

Kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi industri pertunjukan hiburan. Tidak bisa lagi pemerintah hanya diam dan membiarkan “zona abu-abu” ini terus berjalan. Dibutuhkan kebijakan ketenagakerjaan baru yang melindungi pekerja seni, termasuk di sektor informal dan pertunjukan keliling.

Lebih jauh, publik perlu mendesak lembaga-lembaga besar seperti TSI untuk tidak hanya berfokus pada pelestarian satwa, tapi juga pada penghormatan terhadap manusia yang bekerja dalam ruang lingkup mereka.

Dalam dunia hiburan, sering kali yang paling menyedihkan bukanlah cerita di atas panggung, tapi cerita yang terjadi di belakangnya. Ketika penderitaan dibungkam oleh kontrak informal dan citra publik, maka yang muncul adalah pertunjukan indah yang dibangun di atas keheningan penderitaan.

Masyarakat tidak boleh lagi menjadi penonton pasif. Di balik kontroversi ini, penting untuk menelisik lebih jauh: siapa yang sebenarnya menikmati hiburan, dan siapa yang justru menjadi pihak yang dirugikan?


Penulis: Ayfia Amireyl Fitrothy

Proofeader: Anisa Aulia Putri

Comments

Popular posts from this blog

Perjalanan Tanpa Akhir: Kisah Nafisatul Millah

Berjuang di Tengah Deru Mesin: Kisah Febra, Mahasiswi Ojol yang Tak Menyerah pada Keadaan

Sayaka: Perjalanan Hati dari Negeri Sakura ke IIQ Jakarta