RUU TNI Tuai Polemik, Benarkah Dwifungsi ABRI Kembali?
Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI menuai protes dari berbagai pihak. Pasalnya, perubahan RUU TNI dianggap membuka trauma Orde Baru dan memberi celah kembalinya Dwifungsi ABRI (Sebutan untuk angkatan bersenjata Indonesia pada masa Orde Baru yang terdiri dari TNI dan Polri, namun sejak 1 April 1999 TNI dan Polri resmi berpisah, sebutan ABRI sebagai tentara kembali menjadi TNI).
Dilansir dari Kompas.com, Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, memastikan bahwa revisi ini tidak akan mengembalikan konsep Dwifungsi seperti pada era Orde Baru, melainkan hanya mengatur lima kementerian dan lembaga terkait. Kekhawatiran muncul karena masih ada celah bagi militer untuk kembali masuk ke ranah sipil, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Letkol Teddy di Sekretariat Kabinet dan Mayjen Novi Helmy sebagai Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog).
Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang telah diterapkan pada awal Orde Baru dan dilegalkan oleh Soeharto pada tahun 1982 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982, merupakan sebuah konsep dan kebijakan politik yang mengatur tentang fungsi ABRI dalam tatanan kehidupan bernegara. Dwifungsi ABRI berarti bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yakni sebagai kekuatan militer Indonesia, serta sebagai pemegang kekuasaan dan pengatur negara.
Dilansir dari Tempo.co, pelarangan peran ganda militer ini lahir dari Reformasi 1998 yang melihat bahwa pengejawantahan Dwifungsi ABRI pada rezim Orde Baru merugikan rakyat Indonesia. Peran-Peran strategis TNI dalam jabatan sipil akhirnya dihapuskan di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengatasi konflik-konflik yang muncul.
Penolakan terhadap RUU TNI datang dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan pakar seperti Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, yang juga kolumnis Kompas dan Tempo, serta mantan Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab.
Kritik terhadap kemungkinan kembalinya Dwifungsi ABRI (TNI) muncul karena dampaknya terhadap prinsip demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan stabilitas politik, di antaranya:
1. Ancaman terhadap Demokrasi
Dwifungsi ABRI (TNI) mengaburkan batas antara peran militer dan sipil, yang dapat mengarah pada dominasi militer dalam pemerintahan. Hal ini bertentangan dengan prinsip supremasi sipil, di mana kekuasaan politik harus dipegang oleh pemerintah sipil yang dipilih secara demokratis, bukan oleh militer.
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Pada era Orde Baru, Dwifungsi ABRI (TNI) sering digunakan untuk membungkam kritik, menekan oposisi, dan melanggengkan kekuasaan. Keterlibatan militer dalam urusan sipil berpotensi mengancam kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berpolitik.
3. Pelajaran dari Sejarah
Dwifungsi ABRI (TNI) pada masa Orde Baru menciptakan sistem otoriter yang represif, dengan militer memegang kendali politik dan keamanan. Reformasi 1998 berhasil mengakhiri praktik ini dan membawa Indonesia menuju demokratisasi. Kembalinya Dwifungsi ABRI (TNI) dapat mengancam kemajuan demokrasi yang telah dicapai.
4. Netralitas TNI
TNI seharusnya netral secara politik dan fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah. Keterlibatan TNI dalam urusan sipil dapat merusak netralitasnya dan menimbulkan konflik kepentingan. Mengutip dari Imparsial Indonesia, TNI Sebagai alat pertahanan negara dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil.
5. Stabilitas Jangka Panjang
Kembalinya Dwifungsi ABRI (TNI) dapat menciptakan ketidakstabilan politik dan sosial, karena masyarakat sipil mungkin merasa terancam oleh dominasi militer. Demokrasi yang sehat membutuhkan pemisahan yang jelas antara peran militer dan sipil.
Sederet Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum, keamanan, HAM, demokrasi, dan sosial, gencar menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI di berbagai media. Imparsial, sebagai salah satu LSM yang bergerak aktif di bidang ini telah menginisiasi petisi penolakan kembalinya Dwifungsi melalui RUU TNI.
Petisi yang diedarkan oleh Imparsial sejak 16 Maret 2025 melalui www.change.org ini, telah ditandatangani oleh 9.268 orang, dan jumlahnya terus bertambah. Masyarakat yang peduli terhadap isu ini dapat turut serta dengan menandatangani petisi melalui laman: https://chng.it/r7FxxkbxvZ
Jika Dwifungsi ABRI kembali, apakah Indonesia siap menghadapi konsekuensinya?
Penulis : Hanifah Jawahir
Proofreader: Najwa Hafizho Ikram Tarigan
Comments
Post a Comment