RUU Polri dan RUU Kejaksaan Jadi Sorotan Pasca RUU TNI Disahkan

 

    Source Image: www.Liputan6.com

(25/3/2025) Isu mengenai pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Polri, RUU Kejaksaan, dan KUHAP di meja DPR mencuat setelah RUU TNI disahkan. Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto,  menyebutkan bahwa revisi tiga Undang-Undang yakni RUU TNI, RUU Polri, dan RUU Kejaksaan saling berkaitan erat dengan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merupakan fondasi sistem peradilan di Indonesia (detiknews).

Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai NasDem di Komisi III DPR, Rudianto Lallo, menyatakan siap membahas RUU Polri dan Kejaksaan jika dianggap mendesak. Namun saat ini, Komisi III DPR masih mengutamakan pembahasan RUU KUHAP yang diproyeksikan selesai pada Oktober 2025 mendatang. Meski saat ini belum dibahas, pembahasan mengenai RUU Polri dan Kejaksaan tetap berpotensi dipercepat jika ada urgensi (metrotvnews).

Dilansir dari akun X @barengwarga, Draf RUU Polri menjadi sorotan publik lantaran beberapa pasal dinilai rancu dan mengindikasikan potensi Polri menjadi lembaga superbodi. Salah satunya Pasal 14 huruf h, yang menyatakan bahwa Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal ini menimbulkan tanda tanya, sebab dalam praktiknya, terdapat tindak pidana khusus yang seharusnya ditangani oleh lembaga lain seperti Kejaksaan, KPK, TNI, dan instansi terkait lainnya.

Namun, Puan Maharani selaku Ketua DPR RI menegaskan, belum ada pembahasan apa pun mengenai RUU Polri yang dilakukan oleh DPR RI periode 2024 – 2029. Puan juga menegaskan bahwa daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU yang beredar di media sosial adalah dokumen tidak resmi (kompas.com). “Jadi, kalau sudah ada DIM yang beredar, itu bukan DIM resmi. Itu kami tegaskan,” ujar Puan saat ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (25/3/2025).

Meskipun demikian, draf yang sudah beredar tetap menjadi sorotan karena memuat sejumlah poin yang dinilai bermasalah. Adanya perluasan wewenang tanpa regulasi yang kuat dan mekanisme kontrol yang jelas, serta timbulnya potensi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain, menjadi isu krusial. Seperti Pasal 16A RUU TNI yang menjelaskan perluasan wewenang Satuan Intelijen Keamanan (Intelkam) yang dimiliki oleh Polri sampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen, seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Kemudian Pasal 16B RUU TNI yang tidak mendefinisikan istilah kepentingan nasional” siber, sehingga Pasal ini berpotensi menimbulkan adanya penyimpangan prinsip-prinsip HAM karena Kepolisian memiliki kewenangan diskresi yang luas (pshk.or.id). Demikian pula dengan Pasal 14 huruf n yang menunjukkan bahwa Polri memberikan bantuan dan perlindungan serta kegiatan lainnya demi kepentingan nasional. Jika menyangkut kepentingan nasional, maka itu berarti berhubungan dengan negara secara luas, tidak hanya berkaitan dengan tugas Kamtibmas Polri saja (@barengwarga).

Catatan kritis lain yakni mengindikasikan Revisi UU Polri semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk mesimperoleh informasi, serta hak warga negara atas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital, yang tercantum dalam Pasal 16 Ayat 1 huruf (q) memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan yang mengatasnamakan keamanan dalam negeri (pshk.or.id).

Pasal ini menjadi sorotan utama, karena wewenang Polri atas Ruang Siber akan sangat luas, Polri dapat mengawasi dan memantau segala aktivitas digital, tidak hanya terkait pada kasus kejahatan siber saja. Lalu ditambah dengan adanya potensi tumpang tindih kewenangan Ruang siber dengan lembaga negara lain seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan BSSN. Masalahnya, meski wewenang Polri atas Ruang Siber masih berupa rancangan, wewenang TNI atas Ruang Siber sudah menjadi ancaman. Terlebih secara pemaknaan, ancaman pertahanan siber yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf b nomor 15 UU TNI hasil revisi memiliki makna yang terlalu luas, dan bisa menghasilkan interpretasi yang beragam. Jika Pendekatan militer yang cenderung lebih represif diterapkan di dunia digital, bukan tidak mungkin terjadi pemblokiran informasi secara luas, peningkatan pengawasan terhadap aktivis masyarakat di Internet, hingga pembatasan kebebasan berekspresi. Kabar buruknya, bisa jadi TNI malah punya kuasa untuk mengontrol arus informasi dan membungkam suara-suara kritis di internet (tempo.co).

RUU Polri tidak hanya memperluas kewenangan, tetapi juga menaikkan batasan usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri yang tidak memiliki dasar dan urgensi yang jelas. Hal ini tentu berdampak pada regenerasi Polri. Selain itu, pengawasan dan penegakan hukum atas pelanggaran anggota Polri tidak ditangani lembaga independen seperti Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional. RUU Polri tidak menegaskan peran lembaga independen tersebut sebagai pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran, padahal kejelasan mekanisme ini krusial agar institusi Polri dapat beroperasi sesuai prinsip demokrasi dan HAM (pshk.or.id).

Selain RUU Polri, RUU Kejaksaan juga mendapat sorotan. RUU Kejaksaaan menyebutkan adanya fungsi intelijen penyidikan yang bisa memanggil seseorang tanpa adanya alat bukti. Padahal, warga negara berhak menolak pemanggilan jika tidak ada alasan atas pemanggilan tersebut (detiknews).

Dikutip dari dw.nesia, Bivitri Susanti, Pengamat Hukum Tata Negara, mengungkapkan akan adanya pola yang sama persis dalam keterlibatan publik atas pengesahan RUU yang akan datang, sebagaimana RUU TNI yang telah disahkan lalu, yaitu tidak adanya partisipasi, transparansi, dan terkesan buru-buru.

 

 

 

 

 

 

RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi Undang-Undang disahkan secara resmi oleh DPR pada Kamis, (20/3/2025). Namun sampai waktu pengesahan RUU TNI, DPR belum memberikan hasil final dari perubahan Undang-Undang tersebut. Diakses dari laman resmi DPR, bahwa UU TNI baru bias diakses pada tanggal 21/3/2025, tepat satu hari setelah pengesahan. Bivitri Susanti meminta DPR untuk tidak menyalahkan masyarakat sipil jika terjadi salah tafsir atas RUU TNI yang beredar. Pasalnya, sampai pada hari pengesahan RUU TNI ini masyarakat tidak diberikan akses untuk mengetahui isi draf terbaru.

Banyak masyarakat khawatir dengan RUU Polri dan RUU Kejaksaan, karena merasa tidak adanya keterlibatan publik dalam proses pengesahan Undang-Undang, sebagai pelajaran dari pengesahan RUU TNI sebelumnya.

Karena pada dasarnya, warga adalah pemegang kekuasan tertinggi. Pemegang kekuasaan dan kewenangan institusi Negara seperti Presiden, DPR, DPD harus bertanggung jawab atas aspirasi rakyat. Harus ada hubungan timbal balik dan komunikasi yang baik untuk menciptakan kebijakan yang adil. Masyarakat menilai bahwa RUU tersebut bukanlah prioritas masa kini, masih banyak kasus lain yang lebih mendesak seperti masalah pendidikan dan ketenegakerjaan yang harus segera mendapatkan payung hukum keadilan. Jika proses pengesahan Undang-Undang ini dibiarkan tidak sesuai dengan mekanisme dan tujuan yang tepat, tidak menutup kemungkinan akan mencederai demokrasi yang ada di Negara kita, sesuai dengan amanat reformasi 1998.

 

Penulis: Adila Hidayati

Proofreader: Anisa Aulia Putri




 




 

Comments

Popular posts from this blog

Perjalanan Tanpa Akhir: Kisah Nafisatul Millah

Berjuang di Tengah Deru Mesin: Kisah Febra, Mahasiswi Ojol yang Tak Menyerah pada Keadaan

Sayaka: Perjalanan Hati dari Negeri Sakura ke IIQ Jakarta