Polemik Kasus Korupsi Pertamina, Kepercayaan Publik Tergerus


source image : youtube hand jordan


Praktik korupsi kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, tindak korupsi dilakukan oleh oknum PT Pertamina, salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka, enam di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina.

Keenam tersangka tersebut adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Rivan Siahaan; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; serta VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.

Selain itu, tiga broker yang turut menjadi tersangka adalah Muhammad Kerry Adrianto Riza, selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati, selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; serta Gading Ramadhan Joedo, selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Kasus korupsi Pertamina ini terungkap setelah penyelidikan mendalam oleh Kejaksaan Agung, yang mendapat dukungan dari Presiden. Mahfud MD turut mengapresiasi keberanian Kejaksaan Agung dalam mengungkap skandal besar ini serta menilai Presiden telah memberi ruang bagi Kejaksaan Agung untuk bekerja sesuai prosedur.

Jaksa Agung ST Burhanuddin turut menyoroti kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di anak perusahaan PT Pertamina. Ia menyebut kasus ini sebagai salah satu yang tersulit sepanjang kariernya. Pasalnya, praktik korupsi ini telah berlangsung lama, sekitar 2018–2023. Beberapa saksi kemungkinan telah meninggal dunia, dan barang bukti pun bisa saja telah dihilangkan. Potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp968,5 triliun, hampir 1 kuadriliun rupiah. Angka ini memicu kemarahan publik, yang merasa dirugikan baik secara moral maupun material. Masyarakat harus membeli BBM oplosan, sementara pejabat Pertamina menikmati keuntungan dari uang haram tersebut.

Korupsi dalam skala triliunan rupiah secara langsung mengurangi pendapatan negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan program sosial lainnya. Hal ini dapat berdampak serius pada kesejahteraan masyarakat.

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Fahmy Radhi, MBA, dalam wawancaranya dengan Kompas.com pada Senin (3/3) menyatakan bahwa kasus ini berpotensi meningkatkan beban APBN untuk subsidi BBM. Jika tidak segera ditangani, dampaknya bisa meluas hingga menyebabkan kenaikan harga bahan pokok lainnya.

Sejak mencuatnya isu pengoplosan Pertamax, banyak masyarakat yang beralih menggunakan Pertalite. Dilansir dari Kompas.com (12/3), penjualan Pertamax turun hingga 50 persen akibat skandal ini. Selain itu, kepercayaan terhadap Pertamina turut menurun, yang terlihat dari meningkatnya jumlah pengguna BBM dari perusahaan lain, seperti Shell, Vivo, BP, dan lain sebagainya.

 

Kasus korupsi yang terus terjadi di Indonesia menimbulkan kekhawatiran masyarakat terhadap kesejahteraan sosial. Pajak yang harus dibayar, biaya pendidikan yang tinggi, serta fasilitas kesehatan yang kurang memadai semakin dirasa menekan, sementara praktik korupsi terus terjadi tanpa henti.

Keberanian dalam mengungkap kasus ini patut diapresiasi sebagai pencapaian besar. Apa pun motif di balik pengungkapannya, masyarakat berharap agar kasus korupsi di Indonesia dapat diberantas dan dihentikan secara menyeluruh.

Penulis: Annisa Aulia

Proofreader: Sufa Alwafiah Jamyza

Comments

Popular posts from this blog

Perjalanan Tanpa Akhir: Kisah Nafisatul Millah

Berjuang di Tengah Deru Mesin: Kisah Febra, Mahasiswi Ojol yang Tak Menyerah pada Keadaan

Sayaka: Perjalanan Hati dari Negeri Sakura ke IIQ Jakarta