Polemik Kasus Korupsi Pertamina, Kepercayaan Publik Tergerus
Praktik korupsi kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, tindak korupsi dilakukan oleh oknum PT Pertamina, salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka, enam di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina.
Keenam tersangka tersebut adalah
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Rivan Siahaan; Direktur Utama PT
Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; Direktur Feedstock dan Product
Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; VP Feedstock
Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono; Direktur
Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; serta VP Trading
Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
Selain itu, tiga broker yang
turut menjadi tersangka adalah Muhammad Kerry Adrianto Riza, selaku beneficial
owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati, selaku Komisaris PT
Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; serta Gading
Ramadhan Joedo, selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT
Orbit Terminal Merak.
Kasus korupsi Pertamina ini
terungkap setelah penyelidikan mendalam oleh Kejaksaan Agung, yang mendapat
dukungan dari Presiden. Mahfud MD turut mengapresiasi keberanian Kejaksaan
Agung dalam mengungkap skandal besar ini serta menilai Presiden telah memberi
ruang bagi Kejaksaan Agung untuk bekerja sesuai prosedur.
Jaksa Agung ST Burhanuddin turut
menyoroti kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di anak
perusahaan PT Pertamina. Ia menyebut kasus ini sebagai salah satu yang tersulit
sepanjang kariernya. Pasalnya, praktik korupsi ini telah berlangsung lama,
sekitar 2018–2023. Beberapa saksi kemungkinan telah meninggal dunia, dan barang
bukti pun bisa saja telah dihilangkan. Potensi kerugian negara ditaksir
mencapai Rp968,5 triliun, hampir 1 kuadriliun rupiah. Angka ini memicu
kemarahan publik, yang merasa dirugikan baik secara moral maupun material. Masyarakat
harus membeli BBM oplosan, sementara pejabat Pertamina menikmati keuntungan
dari uang haram tersebut.
Korupsi dalam skala triliunan
rupiah secara langsung mengurangi pendapatan negara yang seharusnya digunakan
untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan program sosial
lainnya. Hal ini dapat berdampak serius pada kesejahteraan masyarakat.
Pengamat Ekonomi Energi dari
Universitas Gadjah Mada, Dr. Fahmy Radhi, MBA, dalam wawancaranya dengan Kompas.com
pada Senin (3/3) menyatakan bahwa kasus ini berpotensi meningkatkan beban APBN
untuk subsidi BBM. Jika tidak segera ditangani, dampaknya bisa meluas hingga
menyebabkan kenaikan harga bahan pokok lainnya.
Sejak mencuatnya isu pengoplosan
Pertamax, banyak masyarakat yang beralih menggunakan Pertalite. Dilansir dari Kompas.com
(12/3), penjualan Pertamax turun hingga 50 persen akibat skandal ini.
Selain itu, kepercayaan terhadap Pertamina turut menurun, yang terlihat dari
meningkatnya jumlah pengguna BBM dari perusahaan lain, seperti Shell, Vivo, BP,
dan lain sebagainya.
Kasus korupsi yang terus terjadi
di Indonesia menimbulkan kekhawatiran masyarakat terhadap kesejahteraan sosial.
Pajak yang harus dibayar, biaya pendidikan yang tinggi, serta fasilitas
kesehatan yang kurang memadai semakin dirasa menekan, sementara praktik korupsi
terus terjadi tanpa henti.
Keberanian dalam mengungkap kasus
ini patut diapresiasi sebagai pencapaian besar. Apa pun motif di balik
pengungkapannya, masyarakat berharap agar kasus korupsi di Indonesia dapat
diberantas dan dihentikan secara menyeluruh.
Penulis: Annisa Aulia
Proofreader: Sufa Alwafiah Jamyza
Comments
Post a Comment