DPR Sahkan Revisi UU TNI: Penguatan Pertahanan atau Ancaman Bagi Demokrasi?
![]() |
Sumber: Akun X (@andikabp__) |
Jakarta, (21/03/2025) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia resmi
mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dalam rapat paripurna yang digelar pada Kamis, (20/03/2025) di Gedung Nusantara
II, Senayan, Jakarta Pusat. Keputusan ini membawa sejumlah perubahan signifikan
dalam struktur organisasi, peran, dan tugas TNI, yang kemudian menuai beragam
tanggapan dari berbagai pihak.
Rapat
paripurna ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 ini dipimpin oleh
Ketua DPR RI, Puan Maharani, didampingi oleh Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa,
Adies Kadir, dan Sufmi Dasco Ahmad. Dari total 575 anggota DPR, sebanyak 293
hadir secara fisik, sementara 12 lainnya berhalangan hadir dengan izin,
sehingga total kehadiran mencapai 304 anggota. Seluruh fraksi di DPR turut
hadir dalam rapat ini.
Sejumlah
pejabat tinggi negara juga tampak hadir, termasuk Menteri Pertahanan Sjafrie
Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, serta Menteri Sekretaris
Negara Prasetyo.
Dikutip
dari Kompas.com, revisi ini mencakup sejumlah perubahan utama yang
berdampak langsung pada struktur dan peran TNI, di antaranya:
- Pasal 3 – Perubahan Kedudukan
TNI
- Sebelumnya:
TNI berada di bawah Presiden terkait pengerahan dan penggunaan kekuatan
militer, serta di bawah koordinasi Departemen Pertahanan dalam kebijakan
dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi.
- Sekarang:
Koordinasi kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi
kini berada di bawah Kementerian Pertahanan.
- Pasal 7 – Penambahan Tugas
Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
- Sebelumnya:
TNI memiliki 14 tugas OMSP.
- Sekarang:
Jumlah tugas OMSP bertambah menjadi 16, dengan tambahan tugas untuk
menanggulangi ancaman siber serta melindungi dan menyelamatkan warga
negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
- Pasal 47 – Perluasan Jabatan
Sipil bagi Prajurit Aktif
- Sebelumnya:
Prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di 10 kementerian/lembaga
sipil.
- Sekarang:
Jumlah kementerian/lembaga sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif
bertambah menjadi 14.
- Pasal 53 – Perubahan Batas Usia
Pensiun
- Sebelumnya:
Batas usia pensiun untuk perwira adalah 58 tahun, sedangkan untuk bintara
dan tamtama adalah 53 tahun.
- Sekarang:
Batas usia pensiun untuk bintara dan tamtama dinaikkan menjadi 55 tahun.
Ketua
DPR RI Puan Maharani meminta persetujuan anggota dewan terkait pengesahan
revisi UU TNI. Seluruh fraksi menyatakan setuju, yang kemudian diresmikan
dengan ketukan palu oleh Puan Maharani (Kompas.tv).
Menteri
Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa pengesahan revisi UU TNI
merupakan hasil kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR, tanpa adanya
permintaan khusus dari Presiden Prabowo Subianto. Ia menekankan bahwa revisi
ini bertujuan memberikan landasan hukum yang lebih jelas terhadap peran TNI
dalam tugas selain perang, tanpa melanggar prinsip demokrasi dan supremasi
sipil (Kompas.com).
Pengesahan
revisi UU TNI ini memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Sejumlah massa
menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI, menolak pengesahan tersebut.
Para demonstran khawatir revisi ini dapat mengembalikan era Orde Baru dan
menghidupkan kembali dwifungsi TNI, yakni peran ganda militer yang menduduki
jabatan sipil.
Koordinator
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dini Nurhadi,
mengungkapkan kekhawatiran bahwa perubahan ini dapat melemahkan supremasi sipil
dalam sistem demokrasi Indonesia. "Ketika lebih banyak posisi sipil diisi
oleh militer aktif, itu berpotensi mengaburkan batas antara militer dan sipil,
yang seharusnya jelas dalam negara demokrasi," ujarnya.
Di
sisi lain, pengamat militer dari Lembaga Studi Pertahanan dan Strategi
Indonesia (Lespersi), Hendra Wijaya, menilai revisi ini sebagai langkah yang
diperlukan untuk meningkatkan efektivitas TNI dalam menghadapi tantangan
keamanan yang semakin kompleks, terutama dalam bidang siber dan perlindungan
kepentingan nasional di luar negeri. "Selama ada mekanisme pengawasan yang
ketat, perubahan ini bisa jadi solusi bagi kebutuhan pertahanan yang lebih
modern," katanya.
Di
luar gedung parlemen, ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat turun ke
jalan dalam aksi unjuk rasa menolak revisi UU TNI. Mahasiswa, aktivis HAM,
serta organisasi masyarakat sipil menyuarakan penolakan terhadap perluasan
jabatan sipil bagi prajurit TNI aktif, yang dinilai membuka celah bagi
kembalinya peran dominan militer dalam pemerintahan sipil.
Massa
aksi membawa berbagai spanduk bertuliskan "Hapus Dwifungsi TNI",
"Demokrasi Harus Dijaga", serta "Tolak Militerisasi Jabatan
Sipil". Demonstrasi ini berlangsung sejak pagi dan berlanjut hingga sore
hari, dengan orasi yang mengkritik keputusan DPR yang dianggap mengabaikan
prinsip supremasi sipil.
Salah
satu demonstran, Nurul, seorang mahasiswa hukum dari Universitas Indonesia,
menilai bahwa pengesahan revisi ini dilakukan tanpa transparansi dan
partisipasi publik yang cukup. "Kami menolak pengesahan yang dilakukan
secara terburu-buru. Rakyat harus dilibatkan dalam keputusan sebesar ini,"
ujarnya.
Sementara
itu, kepolisian mengerahkan ratusan personel untuk mengamankan jalannya aksi.
Hingga berita ini ditulis, aksi unjuk rasa masih berlangsung dan belum ada
pernyataan resmi dari DPR terkait respons atas gelombang protes ini.
Meski
revisi UU TNI telah disahkan, polemik mengenai dampaknya terhadap demokrasi di
Indonesia masih terus bergulir. Organisasi HAM dan akademisi berkomitmen untuk
terus mengawal implementasi UU ini agar tetap sesuai dengan prinsip demokrasi
dan tidak mengancam supremasi sipil.
Dalam
beberapa minggu ke depan, sejumlah pihak, termasuk LSM dan aktivis, berencana
mengajukan judicial review terhadap revisi ini ke Mahkamah Konstitusi.
Apakah perubahan ini akan membawa manfaat atau justru menjadi ancaman bagi
demokrasi Indonesia?
Penulis:
Ayfia Amireyl Fitrothy
Proofreader:
Sufa Alwafiah Jamyza
Comments
Post a Comment